1. Lokasi permukiman dayak halong
Secara geografis, wilayah permukiman suku Dayak Halong berada pada
bentangan PegununganMeratus yang terletak diantara 115035’55″ sampai
115047’43″ Bujur Timur dan 02025’32″ sampai 02035’26″ Lintang Selatan.
Kawasan permukiman tradisonal suku Dayak Halong/Dhea ini
tersebar hampir di wilayah 10 (sepuluh) desa, yang meliputi:Desa
Binuang Santang, Desa Marajai, Desa Mauya, Desa Mantuyan, Desa
Tabuan,Desa Buntu Pilanduk, Desa Kapul, Desa Ha ‘uwai, Desa Liyu dan
Desa Aniungan. Adapun total
luas kesepuluh desa yang menjadi kawasan permukiman Suku Dayak Halong
tersebut mencapai sekitar 366,66 km2 atau 55,57% dari luas wilayah
Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan.
Kawasan permukiman suku Dayak Halong memiliki batas-batas sebagai berikut :
• Sebelah timur berbatasan dengan wilayahKecamatanSungai Durian, Kabupaten Kotabaru;
• Sebelah barat berbatasan dengan Desa Gunung Batu dan Desa Auh Kecamatan Awayan;
• Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Halong; dan
• Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sungai Durian, Kabupaten
Kotabaru dan Kecamatan Batang Alai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai
Tengah.
2. Ritual dan Upacara Adat
Warga suku Dayak di wilayah Kabupaten Balangan rutin menggelar upacara adat untuk mengirim doa
kepada roh para leluhurnya. Perhelatan yang termasuk langka dan jarang
digelar di Provinsi Kalimantan Selatan ini diberi nama adat Mambatur.
Masyarakat Kecamatan Halong mayoritas merupakan masyarakat Dayak yang
disebut Dayak Halong sesuai dengan nama lokasi daerah tempat tinggal
mereka. Masyarakat Dayak Halong sangat memegang teguh adat istiadat
nenek moyang mereka, hal ini dapat dilihat dengan adanya beberapa acara
adat yang sering dilakasanaka masyarakat setempat seperti :
1. Aruh Membatur
Aruh Mambatur merupakan sebuah acara penghormatan atas keluarga yang
telah meninggal selama empat hari empat malam. Aruh Mambatur yang
dilaksanakan untuk memperingati seratus hari kematian memerlukan hewan
kurban berupa kambing, sedangkan upacara Aruh Mambatur yang ditujukan
untuk memperingati seribu hari kematian memerlukan hewan kerbau. Dalam
prosesinya (pembuatan nisan) jika yang meninggal adalah petinggi adat,
misalnya ketua atau tokoh adat serta balian atau tabib, maka nisan
(batur) diukir menyerupai wajah manusia, kalau yang meninggal orang
biasa, nisan cukup dipahat dengan bentuk bunga atau tumbuhan.
2. Aruh Baharin
Aruh Baharin merupakan pesta syukuran yang dilakukan keluarga besar
terdiri dari 25 keluarga karena hasil panen padi di pahumaan
(perladangan) mereka berhasil dengan baik. Pesta yang berlangsung tujuh
hari itu terasa sakral karena para balian yang seluruhnya delapan orang,
setiap malam menggelar prosesi ritual pemanggilan roh leluhur untuk
ikut hadir dalam pesta tersebut dan menikmati sesaji yang
dipersembahkan. Prosesi berlangsung pada empat tempat pemujaan di balai
yang dibangun dengan ukuran sekitar 10 meter x 10 meter. Prosesi puncak
dari ritual ini terjadi pada malam ketiga hingga keenam di mana para
balian melakukan proses batandik (menari) mengelilingi tempat pemujaan.
Para balian seperti kerasukan saat batandik terus berlangsung hingga
larut malam dengan diiringi bunyi gamelan dan gong.
Suku Dayak Pitap merupakanMasyarakat AdatDayak yang biasanya
dikategorikan sebagai bagian dari suku Dayak Meratus atau suku Dayak
Bukit yang mendiami Kecamatan Awayan, Kabupaten Balangan. Suku Dayak
Pitap merupakan sebutan bagi kelompok masyarakat yang terikat secara
keturunan dan aturan adat, mendiami kawasan disekitar hulu-hulu Sungai
Pitap dan anak sungai lainnya. Sungai Pitap tersebut sendiri awalnya
bernama Sungai Kitab. Menurut keyakinan mereka, ditanah merekalah
turunnya kitab yang menjadi rebutan. Oleh datu mereka supaya ajaran
kitab tersebut selalu ada maka kitab tersebut ditelan/dimakan atau dalam
istilah mereka dipitapkan, sehingga ajaran agama mereka akan selalu
ada di hati dan di akal pikiran. Kata kitab pun akhirnya berubah menjadi
pitap sehingga nama sungai dan masyarakat yang tinggal kawasan tersebut
berubah menjadi Pitap. Sedangkan sebutan Dayak mengacu pada kesukuan
mereka. Oleh beberapa literatur mereka dimasukkan kedalam rumpun Dayak
Bukit, namun pada kenyataanya mereka lebih senang disebut sebagai orang
Pitap atau Dayak Pitap, ini juga terjadi pada daerah-daerah lain di
Meratus.Para leluhur masyarakat Dayak Pitap mula-mula tinggal di daerah
Tanah Hidup, yaitu daerah perbatasan antara Kabupaten Balangan dengan
Kabupaten Kotabaru (dipuncak Pegunungan Meratus). Tanah Hidup menjadi
wilayah tanah keramat yang diyakini sebagai daerah asal mula leluhur
mereka hidup.
Secara administratif, permukiman Dayak Pitap berada di wilayah 3 desa
yakni Desa Dayak Pitap, Desa Langkap dan Desa Miyanau (1 RT) Kecamatan
Awayan Kabupaten Balangan, semula sebelum keluar Undang-Undang
Nomortentang Pembentukan Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan
berada di Kabupaten Hulu Sungai Utara.Semula suku Dayak Pitap memiliki
pemerintahan sendiri dengan pusat pemerintahan berada di Langkap. Dengan
adanya peraturansistem pemerintahandesa pada tahun 1979, dibentuk
pemerintahan desa Dayak Pitap dengan pusat pemerintahan waktu itu berada
di Langkap. Wilayah Dayak Pitap terbagi terdiri dari 5
kampung besar yaitu :
1. Langkap
2. Iyam
3. Ajung
4. Panikin
5. Kambiyain
Kemudian pada tahun 1982 wilayah Dayak Pitap dibagi menjadi 5 desa,
berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1980 tentang
Pedoman Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Kelurahan
sertaPeraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4Tahun 1981 tentang
Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa. Selanjutnya
berdasarkan SK Camat Tahun 1993Kampung Ajung digabung ke Iyam. Tahun
1998Kampung Iyam dan Kampung Kambiyain digabungkan jadi satu dengan
Kampung Ajung dengan pusat pemerintahan di Ajung Hilir.
Selain di Halong dayak Warukin, Tabalong ada juga upacara kematian disebut Mia atau Mambatur, yaitu membuat tanda kubur dari
kayu ulin. Ritual tersebut memiliki beberapa tingkatan, antara lain
berdasarkan lamanya waktu dan pembiayaan. Upacara menguburkan satu hari
disebut ngatang, yaitu membuat kubur satu tingkat. Dalam kaitan ini, ada
tradisi siwah pada hari ke-40 setelah kematian. Pembuatan batur satu
tingkat ini disebut juga wara atau mambatur kecil. Proses mambatur ada
pula yang dijalankan selama lima hari disertai dengan pengorbanan kerbau
dan pendirian balontang, yakni patung si warga yang meninggal. Prosesi
itu biasanya dilaksanakan dengan mengundang semua warga. Sebagai
kelanjutan “mambatur” biasanya dilangsungkan mambuntang sebagai upacara
terakhir. Kepala Adat Desa Warukin Rumbun mengatakan, aruh mambuntang
yang sederhana disebut buntang pujamanta. Ritual ini h
anya mengorbankan kambing, babi, dan ayam.
Untuk ritual yang lebih “bergengsi”, buntang pujamea diwarnai dengan
pengorbanan kerbau. Perbedaan antara mambatur dan balontang adalah dari
segi mantra dan balian atau rohaniwan Kaharingan yang melaksanakannya.
Perbedaan lain, patung balontang diarahkan ke barat sebagai simbol arah
alam kematian, sedangkan pada mambuntang patung diarahkan ke timur
sebagai simbol kehidupan.
• Tarian Gintor dan Wadian I Balian terdapat di kecamatan Halong
Balian adalah sebutan upacara pengobatan pada Suku Dayak Balangan
(bagian dari Suku Dayak Maanyan) di Kabupaten Balangan dan Suku Dayak
Bukit di Kalimantan Selatan. Suku Dayak Balangan memiliki upacara balian
bulat. Tradisi balian ini dibuat menjadi suatu atraksi kesenian yang
disebut Tari Tandik Balian. Bagi masyarakat Suku Dayak, khususnya di
wilayah pedalaman, komunikasi dengan roh leluhur menjadi salah satu
ritual untuk menjaga keseimbangan dengan alam. Komunikasi tersebut bisa
dilakukan dengan ritual khusus yang bisa dilakukan oleh orang-orang
khusus.
Keseimbangan itu akan tercapai manakala komunikasi dengan lingkungan,
tidak terputus. Bahkan komunitas masyarakat Suku Dayak juga me
mercayai bahwa keseimbangan alam akan masih sangat terjaga ketika roh
leluhur ikut menjaganya. Kearifan Suku Dayak untuk menjaga lingkungan
turun temurun sebenarnya menjadi bagian dari kehidupan yang sudah dibina
sejak dahulu. Hanya, egoisme dan alasan untuk bertahan hidup menjadikan
banyak sisi lingkungan harus dikalahkan. Berbagai masalah pun timbul.
Musibah serangan penyakit, malapetaka dan bencana alam pun terjadi.
Tidak ada lagi penghormatan terhadap leluhur untuk ikut menjaga, karena
ulah manusia yang tak lagi arif menjaga komunikasi. Balian, dipercaya
memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan roh-roh leluhur.
Komunikasi itu bisa melalui tarian atau komunikasi verbal. Tari
dipercaya menjadi media, dengan pukulan alat musik yang disajikan da
pat menjadi penghubung untuk sebuah pola komunikasi.
Masyarakat S
uku Dayak mengenal balian saat akan melakukan komunikasi dengan
roh-roh leluhur. Biasanya saat berkaitan dengan ritual penyembuhan
penyakit, ritual untuk membersihkan kampung dari berbagai kemungkinan
petaka, atau berbagai keperluan lainnya. Balian juga menjadi perantara
hubungan antara pihak yang memerlukan bantuan untuk diobati atau
keperluan lainnya dengan roh-roh leluhur yang dipanggil dalam kaitannya
dengan ritual tersebut, sehingga keperluan untuk ritual itu bisa
berjalan sesuai harapan.
Ritual yang dilakukan balian biasanya menggunakan media berupa tarian
dan atau gerakan-gerakan serta bunyi-bunyian tetabuhan dan peralatan
musik
pengiring tarian yang dimainkan oleh para pemain musik dalam ritual
tersebut. Karena itu, ritual tersebut sangat akrab dengan kehidupan
masyarakat Suku Dayak di wilayah pedalaman. Lebih-lebih untuk tetap
menjaga keseimbangan alam dan berbagai pola kehidupan yang berlangsung
di dunia fana ini.
Balian juga menjadi bagian dari sebuah ritual dan bertindak sebagai
pawang atau basir (perantara adat, Red) yang memiliki kemampuan untuk
menjaga komunikasi dengan dunia leluhur sehingga keseimbangan dapat
terus terjaga dan terbina langgeng. Keseimbangan antara kehidupan fana
dan dunia para leluhur akan dapat terjaga manakala dua dunia yang
berlainan itu dapat saling menjaga keseimbang
an. Sejauh ini, manusia menjaga alam dan ritual leluhur dan leluhur pun akan menjaga keseimbangan alam tempat manusia hidup.
• Aruh Adat Baharin
Lima balian (tokoh adat) yang memimpin upacara ritual terlihat berlari
kecil sambil membunyikan gelang hiang (gelang terbuat dari tembaga
kuningan) mengelilingi salah satu tempat pemujaan di balai depan rumah
milik Ayi, warga Desa Kapul, Kecamatan Halong, Kabup
aten Balangan, Kalimantan Selatan.
Hampir semua warga Dayak setempat, bahkan warga dari beberapa kampung
lainnya, hadir mengikuti ritual adat tua yang masih dilestarikan dan
dipertahankan di kecamatan yang terletak sekitar 250 kilometer utara
Banjarmasin, ibu kota Kalimantan Selatan. Mereka larut menyaksikan para
balian itu saat bamamang (membaca mantra) memanggil para dewa dan
leluhur.
Prosesi adat ini dikenal dengan Aruh Baharin, pesta syukuran yang
dilakukan keluarga besar terdiri dari 25 keluarga tersebut karena hasil
panen padi di pahumaan (perladangan) mereka berhasil dengan baik. Pesta
yang berlangsung tujuh hari itu terasa sakral karena para balian
yang seluruhnya delapan orang itu setiap malam menggelar prosesi
ritual pemanggilan roh leluhur untuk ikut hadir dalam pesta tersebut dan
menikmati sesaji yang dipersembahkan.
Prosesi berlangsung pada empat tempat pemujaan di balai yang dibangun sekitar 10 meter x 10 meter. Prosesi puncak
dari ritual ini terjadi pada malam ketiga hingga keenam di mana para
balian melakukan proses batandik (menari) mengelilingi tempat pemujaan.
Para balian seperti kerasukan saat batandik terus berlangsung hingga
larut malam dengan diiringi bunyi gamelan dan gong.
Sebelum prosesi itu berlangsung, ibu-ibu dan remaja wanita yang secara
khas mengenakan tapih bahalai (kain batik) terlihat sibuk membersihkan
ber
as, membuat ketupat, memasak sayur, serta memasak lemang yang menjadi pemandangan awal kesibukan mempersiapk
an ritual ini. Sementara para lelaki terlihat mengenakan sentara
parang dan mandau di pinggang. Mereka bukan hendak berperang, tetapi itu
harus dikenakan saat mereka mempersiapkan janur pemujaan, mengangkut
kayu bakar, dan memasak nasi. Kesibukan memasak ini berlangsung setiap
hari selama ritual berlangsung.
Sedangkan kegiatan proses Aruh Baharin, kata Narang, balian yang tinggal
di Desa Kapul dipersiapkan oleh para balian. Prosesi tersebut
berlangsung beberapa hari karena ada beberapa pemanggilan roh leluhur
yang harus dilakukan sesuai jumlah tempat pemujaan.
Untuk r
itual pembuka, jelasnya, prosesinya disebut Balai Tumarang di mana pemanggilan roh sejumlah raja, termasuk beberapa raja Jawa,
yang pernah memiliki kekuasaan hingga ke daerah mereka. Selanjutnya,
melakukan ritual Sampan Dulang atau Kelong. Ritual ini memanggil
leluhur Dayak, yakni Balian Jaya yang dikenal dengan sebutan Nini
Uri. Berikutnya, Hyang Lembang, ini proses ritual terkait dengan ra
ja- raja dari Kerajaan Banjar masa lampau.
Para balian itu kemudian juga melakukan ritual penghormatan Ritual
Dewata, yakni mengisahkan kembali Datu Mangku Raksa Jaya bertapa
sehingga mampu menembus alam dewa. Sedangkan menyangkut kejayaan para
raja Dayak yang mampu memimpin sembilan benua atau pulau dilakukan dalam
prosesi Hyang Dusun. Pada ritual-ritual tersebut, prosesi yang paling
ditunggu warga adalah penyembelihan kerbau. Kali ini ada 5 kerbau.
Berbeda dengan permukiman Dayak lainnya yang biasa hewan utama kurban
atau sesaji pada ritual adat adalah babi, di desa ini justru hadangan
atau kerbau.
”Hadangan dipilih warga sini sudah sejak dulu karena bisa dinikmati
siapa pun yang berbeda agama. Bahkan, di kampung ini juga tidak ada yang
memelihara babi,” kata Yusdianto, warga Desa Kapul yang menjadi guru
agama Buddha di Banjarmasin. Namun, yang membedakan, warga dan anak-anak
berebut mengambil sebagian darah hewan itu kemudian memoleskannya ke
masing-masing badan mereka karena percaya bisa membawa keselamatan.
Daging kerbau itu menjadi santapan utama dalam pesta padi tersebut.
”Baras hanyar (beras hasil panen) belum bisa dimakan sebelum dilakukan
Aruh Baharin. Ibaratnya, pesta ini kami bayar zakat seperti dalam
Islam,” kata Narang.
Sedangkan sebagian daging dimasukkan ke dalam miniatur kapal naga dan
rumah adat serta beberapa ancak (tempat sesajian) yang diarak balian
untuk disajikan kepada dewa dan leluhur.
Menjelang akhir ritual, para balian kembali memberkati semua sesaji yang
isinya antara lain ayam, ikan bakar, bermacam kue, batang tanaman,
lemang, dan telur. Ada juga penghitungan jumlah uang logam yang
diberikan warga sebagai bentuk pembayaran ”pajak” kepada leluhur yang
telah memberi mereka rezeki. Selanjutnya, semua anggota keluarga yang
menyelenggarakan ritual tersebut diminta meludahi beberapa batang
tanaman yang diikat menjadi satu seraya dilakukan pemberkatan oleh para
balian. Ritual ini merupakan simbol membuang segala yang buruk dan
kesialan. Akhirnya sesaji dihanyutkan di Sungai Balangan yang melewati
kampung itu. Bagi masyarakat Dayak, ritual ini adalah ungkapan syukur
dan harapan agar musim tanam berikut panen padi berhasil baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar